Showing posts with label PARADIGMA DALAM PENELITIAN. Show all posts
Showing posts with label PARADIGMA DALAM PENELITIAN. Show all posts

Wednesday, September 23, 2020

PARADIGMA DALAM PENELITIAN

 PARADIGMA DALAM PENELITIAN

Paradigma merupakan perspektif riset yang digunakan peneliti yang berisi bagaimana peneliti melihat realita (world views), bagaimana mempelajari fenomena, cara‐cara yan digunakan dalam penelitian dan cara‐cara yang digunakan dalam menginterpretasikan temuan. Dalam konteks desain penelitian, pemilihan paradigma penelitian menggambarkan pilihan suatu kepercayaan yang akan mendasari dan memberi pedoman seluruh proses penelitian (Guba, 1990). Paradigma penelitian menentukan masalah apa yang dituju dan tipe penjelasan apa yang dapat diterimanya (Kuhn, 1970).

Sarantakos (1998) mengatakan bahwa ada beberapa pandangan dalam ilmu sosial tentang beberapa paradigma yang ada. Namun demilian, Lather (1992) berpendapat hanya ada dua paradigma, yaitu positivis dan pospositivis. Sebagai perbandingan, Lincoln dan Guba (1994) mengidentifikasi empat paradigma utama, yaitu positivisme, pospositivisme, konstruksionisme dan kritik teori.  Sarantakos (1998) berpendapat ada tiga paradigma utama dalam ilmu sosial, yaitu positivistik, interpretif, dan critical.  Pemilihan paradigma memiliki implikasi terhadap pemilihan metodologi dan metode pengumpulan dan analisis data.  Dibawah ini adalah ringkasan  tiga paradigma menurut Sarantakos (1998).

Paradigma positivis. Secara ringkas, positivisme adalah pendekatan yang diadopsi dari ilmu alam yang menekankan pada kombinasi antara angka dan logika deduktif dan penggunaan alat‐alat kuantitatif dalam menginterpretasikan suatu fenomena secara objektif”. Pendekatan ini berangkat dari keyakinan bahwa legitimasi sebuah ilmu dan penelitian berasal dari penggunaan data‐data yang terukur secara tepat, yang diperoleh melalui survai/kuisioner dan dikombinasikan dengan statistik dan pengujian hipotesis yang bebas nilai/objektif (Neuman 2003). Dengan cara itu, suatu fenomena dapat dianalisis untuk kemudian ditemukan hubungan di antara variabel‐variabel yang terlibat di dalamnya. Hubungan tersebut adalah hubungan korelasi atau hubungan sebab akibat.

Bagi positivisme, ilmu sosial dan ilmu alam menggunakan suatu dasar logika ilmu yang sama, sehingga seluruh aktivitas ilmiah pada kedua bidang ilmu tersebut harus menggunakan metode yang sama dalam mempelajari dan mencari jawaban serta mengembangkan teori. Dunia nyata berisi hal‐ hal yang bersifat berulangulang dalam aturan maupun urutan tertentu sehingga dapat dicari hukum sebab akibatnya. Dengan demikian, teori dalam pemahaman ini terbentuk dari seperangkat hukum universal yang berlaku. Sedangkan tujuan penelitian adalah untuk menemukan hukum‐hukum tersebut. Dalam pendekatan ini, seorang peneliti memulai dengan sebuah hubungan sebab akibat umum yang diperoleh dari teori umum. Kemudian, menggunakan idenya untuk memperbaiki penjelasan tentang hubungan tersebut dalam konteks yang lebih khusus.

Paradigma interpretif. Pendekatan interpretif berasal dari filsafat Jerman yang menitikberatkan pada peranan bahasa, interpretasi dan pemahaman di dalam ilmu sosial. Pendekatan ini memfokuskan pada sifat subjektif dari social world dan berusaha memahaminya dari kerangka berpikir objek yang sedang dipelajarinya. Jadi fokusnya pada arti individu dan persepsi manusia pada realitas bukan pada realitas independen yang berada di luar mereka (Ghozali dan Chariri, 2007). Manusia secara terus menerus menciptakan realitas sosial mereka dalam rangka berinteraksi dengan yang lain (Schutz, 1967 dalam Ghozali dan Chariri, 2007). Tujuan pendekatan interpretif tidak lain adalah menganalisis realita sosial semacam ini dan bagaimana realita sosial itu terbentuk (Ghozali dan Chariri, 2007).

Untuk memahami sebuah lingkungan sosial yang spesifik, peneliti harus menyelami pengalaman subjektif para pelakunya. Penelitian interpretif tidak menempatkan objektivitas sebagai hal terpenting, melainkan mengakui bahwa demi memperoleh pemahaman mendalam, maka subjektivitas para pelaku harus digali sedalam mungkin hal ini memungkinkan terjadinya trade‐off antara objektivitas dan kedalaman temuan penelitian (Efferin et al., 2004).

Paradigma critical. Menurut Neuman (2003), pendekatan critical lebih bertujuan untuk memperjuangkan ide peneliti agar membawa perubahan substansial pada masyarakat. Penelitian bukan lagi menghasilkan karya tulis ilmiah yang netral/tidak memihak dan bersifat apolitis, namun lebih bersifat alat untuk mengubah institusi sosial, cara berpikir, dan perilaku masyarakat ke arah yang diyakini lebih baik. Karena itu, dalam pendekatan ini pemahaman yang mendalam tentang


suatu fenomena berdasarkan fakta lapangan perlu dilengkapi dengan analisis dan pendapat yang berdasarkan keadaan pribadi peneliti, asalkan didukung argumentasi yang memadai. Secara ringkas, pendekatan critical didefinisikan sebagai proses pencarian jawaban yang melampaui penampakan di permukaan saja yang seringkali didominasi oleh ilusi, dalam rangka menolong masyarakat untuk mengubah kondisi mereka dan membangun dunianya agar lebih baik (Neuman, 2003:81). Perbedaan masing‐masing paradigma dapat dilihat dalam ringkasan di tabel 1.

 TABEL 1

Aspek Kunci

Positivistik

Interpretif critical

Critical

1. Alasan melakukan penelitian

Untuk menemukan hukum sebab akibat perilaku manusia agar berbagai kejadian dapat diramalkan dan dikendalikan

Untuk memahami dan menjelaskan tindakan‐ tindakan manusia

Untuk membongkar mitos dan memberdayakan manusia untuk mengubah masyarakat

2. Asumsi tentang sifat realita sosial

Ada pola yang stabil dan berulang‐ulang yang dapat ditemukan

Realita diciptakan oleh manusia sendiri melalui tindakan dan interaksi mereka

Realita sosial dibentuk dari ketegangan, konflik dan kontradiksi dari para pelakunya

3.Asumsi tentang

sifat manusia

Mementingkan diri sendiri, rasional, dan dibentuk

oleh berbagai kekuatan di lingkungannya

Makhluk sosial yang bersama‐sama menciptakan arti untuk digunakan sbagai pegangan hdp

Kreatif, adaptif, berpotensi, namun terjebak dalam ilusi dan eksploitasi

4. Peran common sense

Berbeda dan kurang valid dibandingkan ilmu

Sebagai pegangan yang digunakan masyarakat dalam kehidupan sehari‐ hari

Sebagai ilusi dan mitos yang menyesatkan manusia sehingga mereka sering bertindak merugikan diri sendiri

5.Sifat dari teori yang  dihasilkan

Berisikan definisi, aksioma, dan hukum yang terkait secara logis‐deduktif

Gambaran tentang berbagai sistem makna dari sebuah kelompok terbentuk dan menjadi langgeng

Sebuah kritik yang mengungkap kondisi yang sebenarnya untuk menolong manusia

menemukan cara yang lebih baik untuk mengubah hidupnya

6.Penjelasan yang dianggap baik

Terkait secara logis dengan hukum‐hukum dan berdasarkan fakta

Masuk akal bagi para pelakunya dan dapat membantu orang lain memahami dunia para pelakunya

Mampu membekali manusia dengan alat‐alat yang diperlukan untuk mengubah dunia

7. Bukti yang dianggap baik

Tidak bias, terukur secara tepat, netral, dapat diulangi hasilnya

Diperoleh langsung dari pelakunya dalam sebuah konteks yang spesifik

Mampu mengungkap mitos dan ilusi

8.Nilai‐nilai pribadi pelaku dalam ilmu dan penelitian

Ilmu dan penelitian harus bebas nilai

Nilai‐nilai adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Tidak ada yang salah/benar, yang ada hanya berbeda”

Semua ilmu dan penelitian harus memihak. Ada nilai‐nilai yang dianggap benar dan salah

9.Metode penelitian yang digunakan

Alat‐alat kuantitatif dalam bentuk survai, kuesioner, model matematis, dan uji statistik

Studi kasus spesifik dengan penggunaan alat‐ alat kualitatif secara intensif, meliputi wawancara, observasi, dan analisis dokumen

Lebih menekankan pada alat‐ alat kualitatif namun dapat juga menggunakan alat kuantitatif sebagai pelengkap

 

 
  

    

 

 

 

 Sumber : Neuman, 2003